Selasa, 24 Desember 2013

Monolog Seorangutan

            Indonesia memiliki sejuta pesona yang selalu mampu membius siapapun yang telah masuk ke dalamnya nadi kehidupannya. Hutan tropis seluas 99,6 hektar menjadi paru-paru dunia. Di dalamnya terdapat banyak sekali macam-macam flora dan faunanya. Banyak pula dari keanekaragaman hayati itu pun yang menjadi satu-satunya di dunia. Sejauh mata memandang, pemandangan memesona selalu memanjakan. Tak salah jika banyak manusia yang menyebut negeri ini surga dunia.
            Hutan selalu menyimpan banyak misteri keindahan yang menanti untuk dijelajah. Pohon-pohon tinggi sungguh menarik untuk dijamah. Suara bebeberapa jenis hewan sudah terdengar di kala surya masih tenggelam di kaki horizon timur, bahkan suasana kian meriah seiring langit yang kian benderang dan kicauan burung mulai bersahutan. Aroma tanah setelah hujan turun pun menambah pesona atmosfir kehidupan di hutan. Ah, aku cinta hutan.
            Namun, di balik pesona indah itu, terdapat banyak tragedi kehidupan yang sangat memilukan dan menyayat hati ini. Hutan yang dulu memiliki kergaman flora dan fauna yang kaya perlahan semakin tergusur oleh perkebunan, hutan monokultur, tambang, dan kebakaran. Sungguh aku ingin meneriakkan keadaan hutan ini agar banyak makhluk Tuhan yang tahu dan tergugah untuk bahu membahu menghentikan penggusuran rumah bagi berjuta flora dan fauna. Aku merasa makhluk Tuhan yang terlahir dengan nama manusia itu mungkin semakin banyak yang tak mengetahui nama flora dan fauna di sekitarnya. Mungkin jika para manusia itu melihat aku akan bertanya, " Apa nama hewan ini? Kok kedua lengannya lebih panjang dari sepasang kakinya? Bulunya ini coklat tapi kok kemerah-merahan ya? Susunan jari-jemarinya kok mirip manusia ya? Apa mungkin perilaku mereka juga serupa dengan manusia?"   
            Aku orangutan yang kian terasingkan di dunia ini. Mereka, manusia, semakin lupa atas kesamaan gen pada tubuh yang berdiri tegap itu. Mereka banyak yang menjadi tamak dan makin menggila. Nurani terbungkam kepalsuan ucapan, kesombongan, dan kemunafikan. Tempat tinggalku, hutan, yang dulu lebat nan rindang, kini kian gersang dan tak aman. Kami yang arboreal semakin sulit menemukan pohon untuk kami singgahi. Sumber makanan kian langka akibat diganti oleh mereka dengan bangunan-bangunan dan perkebunan sawit. Semua itu membuat kami menderita dan menjadi gila. Kami mengikuti naluri untuk bertahan hidup, mengubah pola makan kami dengan cara memakan umbut sawit maupun daun dan kambium akasia, bahan pulb dan kertas pun menjadi konsumsi kami. Tak banyak dari kami pun terpaksa masuk ke teritorial pemukiman saudara 97% kami. Tapi, apa yang kami dapatkan?
            Banyak dari mereka yang merasa kami ini mengusik keamanan mereka. Banyak dari mereka yang merasa kami ini mengganggu kenyamanan mereka. Mereka lupa dengan apa yang telah dilakukan terhadap rumah kami yang dulu rimba. Mereka lupa berkaca dan bertanya "siapa yang memulai ini semua?" Mereka kehilangan logika berpikir, yang mungkin dikarenakan otak mereka rusak akibat produk-produk olahan sawit yang mereka konsumsi telah melampui ambang batas aman.
otann.png            .Aku rindu rumahku yang dulu rimba dan asri, yang memroduksi oksigen untuk dihirup oleh semua makhluk hidup di bumi. Aku rindu pohon-pohon yang membentuk pola seperti payung nan teduh untuk aku singgahi, membuat sarang, sebelum esoknya berayun ke pohon-pohon berikutnya dan kembali membuat sarang di kala senja datang. Aku rindu hutan yang luas untuk aku bermain dan melestarikan spesiesku. Aku tak tahu kapan ini akan berakhir. Aku tak tahu kapan para manusia itu akan tertampar dan sadar betapa egoisnya mereka. Mungkinkah semua ini akan berakhir? Akankah manusia suatu hari nanti tersadar dan menyesal atas perbuatan bodoh mereka di bawah kontrol keserakahan yang telah mengekpoitasi hutan dan alam tanpa merawatnya?

            Sudah lebih dari setahun yang lalu aku dibawa ke tempat ini, sejak aku tak mampu bergerak karena rasanya sesak dada ini menghirup asap tebal yang dihasilkan dari lalapan api melahap dengan cepat pohon-pohon terakhir di rumahku. Aku mendengar banyak jerit kesakitan dari para teman bermainku dan juga hewan-hewan lainnya yang terjebak dan terbakar hidup-hidup. Salah seorang saudara terbakar di depanku, dan ia terlihat mejerit keras karena kesakitan. Ingin aku menolongnya, tapi tak sanggup. Aku pun tak dapat melihat dan akhirnya jatuh pingsan. Di tengah ketidakberdayaanku, aku merasa tubuhku diangkat oleh tangan-tangan malaikat dan mereka memasangkan sebuah alat yang mengeluarkan oksigen segar untuk aku hirup. Para malaikat itu menyelamatkanku dan beberapa individu spesiesku dari pembakaran hutan oleh orang-orang suruhan pemilik perkebunan kelapa sawit yang ingin membuka lahan baru agar keuntungan perusahaannya kian melejit.  Mereka membawa kami ke sebuah penampungan yang nyaman dan aman.
             Berkat kasih sayang dan kepedulian para malaikat itu, secara perlahan rasa trauma setelah melihat saudaraku tewas terbakar hilang. Kini aku bisa menjalani kehidupan baru di tempat ini. Beberapa hari yang lalu, seorang malaikat memberiku secarik kertas. Namun, aku tak mengerti apa yang tertulis di sana. Andai saja aku dapat mengerti bahasa manusia, mungkin aku bisa membaca pesan sang malaikat di kertas itu.  Walau demikian, aku dapat merasakan yang tertulis di sana adalah serangkaian kata cintanya.



Mawas Tewas

Aku melihat ia tepat di hadapanku
Meski ada pembatas tebal yang menghalangi
Tak membuat kami terasa telah menyatu

Kedua mata itu bening seperti cermin surga
Selalu dapat kulihat sebuah jiwa yang terpenjara di dalam sana
sorot mata itu menjadi refleksi dari apa yang ia rasakan dan harapkan
Kesenangan, kemuraman, kesepian, kemarahan, dan kerinduan

Aku ingin lebih dekat, ingin aku mendekapnya
Aku ingin ia tahu kalau aku menyayangi dan ingin melindungi
Aku ingin merasakan apa yang ia rasakan dalam hidup
Hidup dalam kotak kaca yang memenjarakan jiwanya

Aku ingin mengatakan: "aku mencintainya"

Raganya terpenjara dalam jeruji besi beraliran listrik
Jiwanya tersandera kenangan masa lalu yang terus mengusik
Ia tak akan pernah bisa lagi merasakan kebebasan hidup

Matanya yang kecil, bulat, dan bening itu
seperti cermin yang merefleksikan kisah kelam yang terlalui
Ketika manusia-manusia kehilangan akal dan hati nurani
Keserakahan mengontrol manusia untuk membunuh demi materi
Menyeret, membakar, meracun, menembak, dan mengikat mereka
Nyawa mereka seperti tak lebih berharga dari pundi-pundi emas

Tiap tetes darah yang membasahi bumi yang kian gersang
Menghasilkan setumpuk uang yang semakin merangsang
Mereka terus menerus memerkosa ibunda alam demi keserakahan
Mereka lupa setiap makhluk terikat dalam rantai kehidupan
Kestabilan alam terkoyak jika ada mata rantai yang rusak dan punah
Manusia akan tewas jika alam dan mawas tewas! 


Senin, 17 Juni 2013

Aku dan Endah N Rhesa

Mungkin ada yang belum tahu arti dari Cak RaSa dan bertanya siapa nama yang tertera pada akte kelahiranku. Baiklah, ada baiknya ---daripada menceritakan kisah perjalanan hidupku--- untuk memerkenalkan secara singkat siapa aku. Nama lengkapku Radik Sahaja dan sekarang aku menjadi mahasiswa semester 6 jurusan DKV (Desain Komunikasi Visual) di Universitas Paramadina. Aku tinggal di Mampang, Pancoranmas - Depok. Sejak SMA aku menyukai aliran musik yang terbilang "menyimpang", seperti Reggae, SKA, dan Dancehall. Alhasil, sejak semester 3, aku mulai mengenal beberapa nama musisi indie di Indonesia. Aku mulai mengenal nama Endah N Rhesa dari sebuah majalah remaja yang mengulas tentang album Nowhere to Go.



ddd