Jumat, 28 Oktober 2011

Tanpa Cinta, Kita Takkan Merasa Hidup

"TANPA CINTA, KITA TAKKAN MERASA HIDUP."

Begitulah pepatah yang sering aku dengarkan dari angin yang selalu berbisik di kesunyianku. Aku tak tahu, siapa yang menyampaikannya lewat deruan angin. Aku tak ingin tahu siapa sang penyampai pesan tersebut.

Tanpa terasa sudah lebih dari 4 tahun aku menjalani hidup ini sendiri. Walau aku kian mendapatkan sahabat-sahabat yang menyayangiku, rasanya masih ada yang belum lengkap. Kekasih. Ya, kekasih. Seseorang yang mampu menyeimbangkan hidup kita, dimana ia akan meneduhkan hati kita di kala dendam berkecambuk di dada, dan ia akan berbagi harapan di saat kita merasa tak punya tujuan.

Begitu rumit hubungan asmara untukku. AKu selalu saja dihantui perasaan takut orang yang aku sayangi akan tersiksa jika ia memasuki duniaku. AKu takut sebuah hubungan spesial melahirkan permusuhan di antara aku dan dia

Coretan Mahasiswa Desain

Ah, resiko jadi mahasiswa desain: Tugas hampir tiap hari per minggunya ada terus, sering pulang malam gara-gara ngerjain bareng tugas ama teman, uang jajan terkuras untuk membeli peralatan-peralatan seperti kertas linen hitam, dan tak jarang makan pun gak tentu waktunya.

Tapi aku tetap menikmati rutinitas, yang mungkin sebagian orang menganggapnya penyiksaan diri, karena aku percaya inilah jalan takdir yang telah ditentukan oleh Yang Maha Esa. Demi mencapai sebuah impian menjadi seorang desainer web atau ilustrator, aku rela menghabiskan waktu hidupku untuk dicurahkan semua ke perdesainan. Aku percaya semua impian yang dikejar dengan sungguh-sungguh, pasti akan terwujud nantinya.

Badanku rasanya telah terbiasa menerima kenyataan bahwa setiap malam aku harus tertidur dengan kondisi raga yang remuk-redam. Kasur yang empuk tak banyak membantu mengembalikan keadaan tubuhku yang seperti remuk ke keadaan semula. Sehat dan bugar.

Mataku secara lambat namun pasti, terlatih untuk membaca pesan-pesan yang tersampaikan dari segala visual yang tertangkap olehnya. Baik yang tersirat maupun yang tersuratkan secara gamblang pesannya. Selain itu, sedikit demi sedikit, mataku terbiasa menikmati perpaduan warna yang apabila disandingkan bersama akan membentuk sebuah keindahan yang tak ternilai. Walau, masih sering aku keliru dalam pemilihan warna untuk dipadu-padankan.

Tanganku yang ternyata masih saja belum bisa menggambar sebuah objek secara realis, perlahan kian menunjukkan kemampuannya di bidang gambar ilustrasi. Gambar-gambar ilustrasi yang lebih simpel dengan tingkat kompleksitas rendah, sepertinya telah menjadi bakatku yang kian kurasakan. Walaupun dalam diri masih ingin menyempurnakan bentuk di bagian-bagian tertentu, misalkan pada bagian tangan beserta jemarinya.

Namun, ada satu yang tak pernah hilang dari hidupku dari waktu ke waktu. Meskipun aku kini telah resmi menjadi mahasiswa desain semester 3, alunan musik Reggae tetap menyertai langkahku. Reggae tetap memberikan aku kekuatan lebih untuk terus berjuang memerjuangkan nasibku kelak. Aku tak ingin jadi bagian kaum yang dianggap sebelah mata oleh orang-orang yang ngerasa lebih dari lainnya.

Sekian coretan hati dariku sebagai seorang mahasiswaa desain. Terimakasih atas waktu yang telah diluangkan untuk membaca cerita yang tertoreh secara sederhana ini. Sampai jumpa di lain kesempatan, kawan.

Rabu, 26 Oktober 2011

Seputar Kehidupanku

Peluh yang bercucuran di sekitar keningku adalah akibat dari aku yang terengah-engah dikejar waktu. Aku tengah mencari arti dari hidupku di dunia ini. Sampai hari ini, belum juga aku temukan alasan waktu memilihku untuk menghirup udara di bumi. Apa aku dilahirkan untuk menjadi pemberontak dari setiap ketidakadilan ---yang hingga kini masih bisa disaksikan di sekitarku? Mungkinkah hanya sekedar menambah sesak ruang gerak di bumi? Atau mungkin untuk mengimbangi hidup seorang gadis yang menunggu di suatu tempat yang belum aku tahu dimana?

Selasa, 18 Oktober 2011

Sebuah Nisan (Part 8)

“Kenapa tante? Apa yang sebenarnya ingin tante beri tahu ke saya?”
Beliau makin tak kuasa menahan tangisnya. Dengan tersedu-sedu ia berusaha menjelaskan semua hal yang terlihat kian meronta minta dilontarkan dari mulut beliau.
Aku terkaget ketika mendengar kabar bahwa Tursi telah pergi dari dunia fana ini setahun yang lalu. Aku masih tak percaya dengan kenyataan tersebut. Seketika tubuhku terasa lunglai tak berdaya.
Hawa kesedihan pun menyebar ke seluruh sudut ruang tamu tersebut. Ruangan tersebut kini mirip tempat berkumpulnya dua insan yang sama-sama kehilangan orang yang mereka kasihi.
Beliau mengatakan, sehari sebelum Tursi meninggal, ia pernah mengatakan,” Ma, tolong sampaikan ke sahabatku bila suatu hari ia datang ke rumah, katakan bahwa aku merasa beruntung mendapatkan sahabat sepertinya. Dia adalah sahabat terbaik yang pernah ada di dalam hidupku. Sayangnya aku tidak tahu harus kemana untuk mencarinya. Mungkin di sana, ia tengah sibuk dengan kehidupan barunya. Tapi aku percaya, ia tidak akan pernah melupakan aku sebagai sahabat sejatinya.”
Mendengar ucapan terakhirnya itu, hatiku bergetar hebat, ragaku terkulai lemas. Aku memandangi foto Tursi yang terpajang di dinding itu. Kemudian aku berkata dengan air mata yang berlinang,” Turs, kamu akan tetap ada di hati dan ingatanku. Karena kamu sahabat sejatiku.”
Sepasang mata pada foto tersebut seakan merespon apa yang aku ucapkan barusan. Kini aku benar-benar tak mampu menahan air mataku.
Aku pun juga baru tahu hari ini, ternyata ia menderita penyakit yang sangat sulit untuk disembuhkan. Sungguh betapa hebatnya dia menyembunyikan penyakitnya itu dari penglihatan orang-orang di sekelilingnya. Ia beralasan tak ingin membuat semua yang menyayanginya merasa cemas dengan kondisinya yang kian melemah dari hari ke hari. Pantas saja sewaktu ia datang terlambat pada latihan drama hari itu, mukanya tampak sedikit lebih pucat dari biasanya.
*******
Setelah kepergian Tursi, entah mengapa hati ini sulit rasanya untuk menerima sosok-sosok baru. Karena aku berfikir tak ada perempuan yang sebaik dan sekuat Tursi. Sampai kapan pun ia selalu hidup dalam kenanganku. Meski aku tahu, waktu terus berlanjut, dan hidup pun harus dijalani lagi. Dan cepat atau lambat, kelak akhirnya hatiku pun bisa mencintai gadis yang lain. Akan tetapi tak akan pernah ada yang mampu menggantikan posisinya di hatiku. Ia tetap sahabatku yang nomor satu.
Kini, yang tersisa dari sosoknya hanyalah sebuah nisan di atas gundukan tanah berumput di pemakaman ini. Sebelum aku beranjak pulang, aku mengucapkan do’a semoga ia damai di alam sana dengan cahaya terang dan lapangnya tempat bersemayam jenasahnya.
Hari telah beranjak gelap.
Sebuah tangan dengan jemari mungil mendarat di pundak kiriku, kemudian suara perempuan terdengar,“ Kri, udah hampir jam setengah enam lho. Yuk kita pulang, yang lain udah nungguin tuh dari tadi.” Dewi menunjuk ke tempat dimana para sahabatku yang lain tengah menantiku dengan sabar sedari tadi. Para sahabat yang sangat kusayangi dan kubanggakan.
Sudah saatnya aku meninggalkan areal pemakaman ini. Namun, sebelum mengucapkan perpisahan untuk hari ini, aku meletakkan sepucuk puisi di atas gundukan makamnya.


Tak Akan Pernah Hilang
Jika suatu saat kita terpisahkan oleh waktu
Aku berharap kita dipertemukan kembali oleh waktu
Di sebuah tempat yang indah, dan dengan cara yang indah
Karena sebuah persahabatan adalah hal yang terindah
Meski kau tak bisa lagi kulihat sosokmu tersenyum
Aku masih mampu merasakan hadirnya dirimu di dekatku
Kau tak akan pernah hilang dari ingatan
Karena kau akan terus hidup sebagai sebuah kenangan
Yang terus mengiringi langkahku dalam perjalan hidupku
Kau takkan pernah tergantikan oleh siapapun, sahabat
Takkan pernah ada yang bisa menggantikan posisimu, kawan
Meski sampai waktu kelak mengambil hidupku dari kisahku
Akan selalu merindukan saat-saat indah bersamamu, sobat

Sebuah Nisan (Part 7)

Spontan aku jawab,” Gak seru sama sekali. Kurang ada yang berkesan buatku.”

Ia pun menggodaku,” Pasti gara-gara gak ada aku, ya?”

Kami berdua pun tertawa kecil. Namun, semua berhenti ketika aku menceritakan niatku kemari untuk berpamitan padanya. Ia tampak sedih mendengar kabar kepergianku yang terkesan mendadak. Aku pun merasa ada yang mengenyuh hatiku. Aku tak sanggup berlama-lama di ruangan yang suasananya berubah mengharukan ini.

*******

Cianjur, 10 Juli 2010...

Aku melanjutkan pendidikanku di salah satu Sekolah Menengah Atas di kecamatan Cilaku.

Pada awalnya, aku tak betah tinggal di tempat yang berbeda 1800 latar budayanya. Menganggap aku yang keturunan orang Jawa sebagai ancaman baru di tanah Parahyangan tersebut. Seperti masih terpengaruh dengan sejarah kelam.

Tapi, aku mencoba mendalami struktur dari budaya dan perilaku apa saja yang biasa dilakukan oleh orang sana. Lambat laun pun aku terbiasa mengikuti arus kehidupan di sana.

Tanpa terasa tiga tahun sudah aku lalui di sini. Hidup di antara orang-orang yang berbeda suku, budaya, dan perilaku. Aku telah membuktikan bahwa perbedaan latar belakang takkan menjadi masalah apabila kita mengikuti seluruh norma-norma yang berlaku pada tempat tersebut. Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.

Kini aku telah resmi lulus dari tingkat pendidikan SMA, walaupun dengan nilai yang sedikit jauh dari yang dicitakan. Senang rasanya berhasil menyelesaikan seluruh pendidikan tingkat sekolah. Sudah saatnya memersiapkan diri menjadi seorang mahasiswa.Saatnya mengucapkan selamat tinggal pada pakaian yang seragam.

Aku jadi teringat akan bagaimana kondisi Tursi yang sudah lama tak kuketahui kabarnya. Terakhir kali ber-SMS yaitu ketika aku duduk di bangku kelas 2 SMA. Saat itu ia mengatakan telah tinggal di Jombang, dan tengah berpacaran dengan cowok bernama Giar Aris Pratama, Aris panggilan akrabnya. Setelah itu aku benar-benar hilang kontak dengannya.

*******

Di saat aku berkunjung ke Surabaya, pada waktu lebaran tahun 2010 lalu, aku menyempatkan diri mengunjungi sahabat lama yang telah lama tak saling sapa. Ingin mengetahui bagaimanakah keadaannya.

Kali ini, ada suasana berbeda yang kutangkap dari rumah sahabatku ini. Suasana tampak sunyi, tanpa adanya getaran-getaran yang biasa aku rasakan. Sungguh berbeda sekali. Firasatku pun mulai tak beraturan membawaku berandai-andai. Semoga saja itu hanyalah perasaaan cemas yang terlalu.

“Assalammu’alaikum.”

Terdengar suara wanita menjawab,“ Wa’alaikumsalam.”

Ibu Tursi yang membukakan pintu untukku, kontan beliau kaget melihat sosokku yang telah lama tak berkunjung ke rumahnya. Beliau memersilahkan aku untuk masuk ke ruang tamunya.

Aku langsung bisa melihat sedikit perubahan yang terjadi di ruangan ini. Perubahan yang paling kentara ada pada dinding sebelah selatan ruang tamu. Sebuah foto Tursi berukuran cukup besar terpampang di bawah foto satu keluarga yang masih kuat terpasang di dinding ruang tamu. Pada foto itu, Tursi terlihat jauh berbeda dari tiga tahun silam. Ia terlihat lebih cantik dengan wajah mirip seperti artis Korea, dan senyum manis khasnya yang tergurat dari bibir tipis merah jambunya.

Beliau terlihat terisak pelan ketika hendak mengutarakan sesuatu yang sepertinya sudah lama dipendam sebelumnya. Aku penasaran dengan apa yang ingin beliau ungkapkan kepadaku.

“Kenapa tante? Apa yang sebenarnya ingin tante beri tahu ke saya?”

Sebuah Nisan (Part 6)

Seturunnya di hotel, aku baru menyadari, bahwa ternyata Tursi tidak ikut dalam acara ini. Entah apa alasannya. Hal ini menyebabkan seketika aku kehilangan semangat untuk menikmati indahnya pulau para dewa. Maka, sama sekali tidak ada tempat yang benar-benar berkesan buat ku. Kecuali, tempat pusat penjualan cinderamata khas Bali.

Di sana, aku membeli sebuah kalung bermotif seperti batu marmer berwarna biru. Kalung itu aku rencanakan sebagai hadiah untuk Tursi yang, mungkin, sekarang tengah sibuk sendiri di rumahnya.

Tak sabar rasanya untuk segera memberikannya padanya. Aku pun tak dapat membayangkan bagaimana reaksinya saat kuberikan kalung itu.

*******

Hari ini adalah hari dimana pengumuman kelulusan ujian akhir nasional untuk tingkat SMP. Tertera di layar ponselku tanggal 12 Juni 2007.

Alhamdulillah, 99% siswa SMPN 35 lulus dari perhelatan UAN. Hanya seorang yang terpaksa harus mengambil ujian perbaikan. Bukan karena ia tidak pandai. Bukan. Karena dari rumor yang beredar, beberapa minggu sebelum diadakannya UAN, yang bersangkutan malah sibuk berpacaran dengan salah seorang mahasiswa universitas di daerah Rungkut tersebut. Dan sekarang, Tuhan menunjukkan kuasaNya dengan memberikan hadiah yang setimpal dari apa yang telah ia lakukan.

*******

Surabaya, 30 Juni 2007...

Tak ada yang bisa aku lakukan ketika harus menerima kenyataan bahwa aku harus rela meninggalkan kota pahlawanku. Kota dimana aku menghabiskan masa tumbuh-kembangku, masa-masa aku mendapatkan arti sebuah persahabatan. Begitu banyak kenangan yang terlalu indah untuk aku tinggalkan di sini.

Pada sore harinya, aku menyempatkan diri mampir ke rumah Tursi untuk menyerahkan hadiah yang telah aku persiapkan dengan rapi sebelumnya.

“Assalammu’alaikum,” kuketuk perlahan pintu kayu tak berplitur itu.

“Wa’alaikumsalam,” suara yang sangat familiar terdengar dari dalam rumah.

Tursi pun membuka pintu rumahnya, ia tampak heran dengan dandanku yang terlihat teramat rapi dari biasanya.

“Kamu, mau pergi kemana, Dik?” Matanya masih terlihat tajam menatapku.

“Entar deh aku ceritain di dalam. Sekarang, boleh aku masuk?”

Ia pun tersadar karena telah membiarkanku berdiri lama di depan pintu.

“Eh, iya. Maaf. Silahkan masuk, Dik. Duduk dulu.”

Untuk kesekian kalinya, dan sekarang mungkin untuk yang terakhir kalinya, aku masuk ke ruang tamu ini. Tatanannya masih saja sama.

“Sebelumnya, ini ada hadiah buat kamu, Turs. Oleh-oleh dari Bali waktu itu.” Aku pun menyodorkan sekotak kecil bingkisan yang aku bawa menggunakan kresek hitam.

Ia pun langsung membuka bingkisan tersebut, yang kemudian mampu membuat matanya berbinar setelah melihat benda yang ada di dalamnya.

“Kamu suka?”

Ia hanya membalas pertanyaanku dengan sebuah anggukan.

“Makasih banyak, ya.”
Kemudian ia diam sejenak, sebelum akhirnya bertanya,” Gimana perpisahannya di Bali waktu itu? Seru gak?”

Spontan aku jawab,” Gak seru sama sekali. Kurang ada yang berkesan buatku.”

Sebuah Nisan (Part 5)

Rencananya, acara akan diadakan mulai tanggal 23-26 April 2007 di Pulau Bali menggunakan bus pariwisata.

Pada hari Senin, kami diwajibkan untuk tiba di sekolah pukul 07.00 WIB, dikarenakan keberangkatan dijadwalkan pukul 07.30. Sepanjang jalan di sekitar sekolahku telah berjajar bus-bus sewaktu aku melalui ruas jalan tersebut. Aku yang diantarkan oleh kedua orangtuaku menggunakan mobil, tak sabar rasanya segera masuk ke dalam salah satu bus dan ingin secepatnya sampai di Pulau Bali. Di sepanjang jalan itu pula berdiri gerombolan pengantar rekan-rekan seangkatanku. Suasananya sangat mirip seperti saat keberangkatan jamaah haji tanah air.

Tepat pukul 07.30, satu per satu bus berangkat meninggalkan parkiran. Dari sekolahku, bus menuju kawasan Rungkut Industri melalui Pasar Rungkut. Setelah itu, aku tak memerhatikan jalan yang dilalui dikarenakan tengah asyik berbincang-bincang dengan teman-teman sebus. Yang hanya aku tahu pasti, kami melalui jalan tol Surabaya-Gempol, masuk dari pintu tol Waru.

Di sepanjang ruas jalan tol ini, kira-kira sejauh 5 km, kami benar-benar dibuat tercengang menyaksikan situasi ini. Di kanan jalan, tanggul tanah menjulang tinggi sekitar 10 meter. Di balik tanggul itulah lautan lumpur panas dibendung agar dampaknya tidak semakin menyengsarakan warga dan lingkungan sekitarnya. Di atas tanggul itu, banyak orang berkeliaran; baik para pekerja maupun warga yang hanya sekedar ingin menyaksikan, mulai dari berjalan kaki hingga naik motor. Berbagai peralatan berat juga nampak di sisi kanan jalan tol ini.

Sedangkan di sisi kiri jalan tol, banyak terdapat peralatan berat, pos-pos pekerja beserta perlengkapan pendukungnya, rambu-rambu non permanen seperti dilarang berhenti, batas kecepatan maksimal, dan lain-lain.

Selepas jalan tol kami menyusuri kota di sepanjang pantai utara pulau Jawa bagian paling timur, yaitu melalui daerah-daerah: Gempol, Bangil, Pasuruan, Probolinggo, Kraksaan, Paiton, dan Besuki.

Akhirnya kami tiba di Ketapang, lokasi dimana pelabuhan kapal feri yang akan menyeberangkan kami ke Bali berada. Ketapang letaknya sebelum memasuki kota Banyuwangi. Lokasi dermaga ada di sisi kiri jalan, kami langsung memasuki pelataran pelabuhan dan langsung disambut dengan loket pembelian tiket feri.

Antrian cukup panjang, didominasi oleh truk-truk besar dengan terpal menutupi muatannya. Setelah menunggu cukup lama, kami pun akhirnya mendapat giliran untuk masuk ke dalam kapal feri. Di saat bus yang aku tumpangi jalan melalui jembatan, dari jendela tempatku duduk, ku saksikan anak-anak kecil berebutan uang logam (bahkan ada juga uang kertas) yang dilemparkan oleh para penumpang kapal. Dengan cara menyelam, tanpa perlengkapan menyelam sekalipun, mereka terlihat antusias mengejar uang yang diceburkan ke laut sekitar mereka. Pemandangan yang mengesankan.

Di dalam kapal, aku dan yang lainnya berhamburan menuju bagian atas kapal. Sayangnya, tempat yang disediakan untuk menunggu telah penuh oleh orang. Ada sebuah pemandangan miris yang aku saksikan. Seorang ibu dengan kedua anaknya harus rela duduk di lantai di dekat pintu kamar kecil. Mereka dengan tenangnya, seperti telah terbiasa, menghirup oksigen yang bercampur dengan aroma yang keluar dari kamar kecil tersebut.

Setelah kurang-lebih 45 menit terombang-ambing di tengah lautan, kami pun akhirnya merapat di Gilimanuk. Untuk memercepat perjalanan, para siswa yang masih berada di kabin kapal, harus melalui jalur yang disediakan untuk orang-orang yang tak berkendaraan. Aku melewati jembatan penyeberangan yang cukup panjang sebelum pada akhirnya berhenti di tempat bus pariwisata kami parkir. Setelah dipastikan semua anggota telah lengkap, bus pun menuju hotel untuk kami bermalam.

Sebuah Rahasia Kecil (Part 9)

...
Aku tak ingat lagi kapan Hani memberikan surat spesialku itu, karena rasanya telah sebulan yang lalu aku membuatnya. Dan jawaban dari Dewi tak kunjung datang. Aku sudah pasrah kalo sebelum membaca habis suratku itu, Dewi membuangnya terlebih dulu. Bahkan, mungkin saja sebelum amplop suratku dibuka, tatkala ia melihat siapa pengirimnya, ia langsung menjadikannya sebuah sampah. Mungkin satu-satunya jalan terbaik bagiku yakni menganggap surat itu tak pernah tersampaikan dengan baik.

Hari-hari berjalan sedikit terkesan dipaksa. Langkahku secara perlahan menjadi lebih berat dari hari ke hari. Entah apa yang menyebabkan kakiku perlahan menjadi batu.

Sebuah Nisan (Part 4)

Ia membawaku ke sebuah ruangan yang menjadi kamar tidurnya. Di bagian depan pintu, tertempel stiker rupa-rupa gambar dan warnanya. Mungkin itu ulah adiknya sewaktu SD.

“Kamu ganti baju aja di sini. Tapi jangan lupa, ditutup pintunya, ya.” Ia pun pergi ke luar meninggalkan ku sendiri di dalam kamarnya.

Seumur-umur baru pertama kali aku berada di kamar cewek. Suasananya berbeda dari punyaku di rumah. Semua serba tertata rapi. Dan kulihat sebuah boneka beruang duduk di sudut tempat tempat tidur.

Aku melepas pakaian yang kukenakan, dan segera menggantinya dengan baju yang dipinjamkan olehnya. Setelah aku beberkan pakaian yang sebelumnya terlipat itu, ternyata pakaian tersebut adalah sebuah baju berlengan panjang berwarna krem.

Aku keluar dari kamar dengan membawa kaos basahku. Tursi yang melihat aku mengenakan pakaiannya tertawa kecil.
“Kekecilan ya, Dik, pakaianku? Maaf ya, adanya cuma itu aja.”

“Enggak, kok. Gak apa-apa, yang penting badanku hangat lagi.” Tanganku sesekali menarik bagian bawah pakaian itu yang seringkali masih naik dengan sendirinya.

“Oh iya, ini kresek buat bajumu yang kena hujan.”

Ia menyodorkan sebuah kantong kresek belang ke hadapanku. Tanpa buang waktu, aku pun segera memasukkan kaos basahku ke dalamnya.

“Ya, udah. Kalau gitu, ke ruang tamu, yuk. Mamaku udah bikinin kita teh hangat.”

Kami pun bercengkrama cukup lama dengan ditemani secangkir teh hangat yang mampu melawan dinginnya malam ini.

Tak terasa jam telah menunjukkan pukul 9 tepat. Di luar sana, kulihat sudah tidak lagi turun hujan. Maka aku memutuskan untuk segera pulang ke rumah.

“Turs, aku pulang dulu. Udah gak hujan juga kan sekarang.” Aku memasukkan pakaian basahku ke dalam tas.

“Oh iya, Turs, tolong panggilin ibumu, aku mau pamit pulang.”
Tursi pun bergegas menuju ruang tengah dimana ibunya tengah melipat-lipat pakaian yang telah selesai disetrikanya.

“Oh, udah mau pulang, ya?” Tanya ibunya dengan hangat.

“Iya, tante, udah malam. Kayaknya gak sopan kalau bertamu lebih dari jam segini. Lagipula, kayaknya Tursi udah mengantuk. Makasih banyak, tante, buat teh hangatnya.”

“Iya, sama-sama. Makasih juga udah mau nganterin Tursi pulang, sampai hujan-hujanan segala lagi. Nduk, kamu anterin sahabatmu ini ke depan, ya.”

Tursi pun mengiringiku sampai depan rumahnya. Aku melipat jas hujanku, dan kumasukkan kembali ke bawah jok. Kupakai helmku, kemudian kunyalakan Vegaku.

“Aku pulang dulu, ya, Turs. Makasih banyak atas pinjaman bajunya dan teh hangatnya. Assalammu’alaikum.”
“Wa’alikumsalam.”

*******

Sinar mentari kembali menghangatkan hari. Hari yang dinanti-nanti pun akhirnya tiba. Hari dimana waktunya untuk membawakan drama dari masing-masing kelompok.

Semua terlihat sibuk memersiapkan kelompoknya masing-masing. Aku dan kelompokku berlatih sejenak untuk memantapkan kesiapan kami.

Satu per satu kelompok maju menampilkan pertunjukan drama mereka. Semua terlihat bagus dan sempurna di mataku. Sepertinya, kelompokku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang lain. Aku mulai sedikit merasa pesimis.

Tibalah waktunya untuk kelompokku, kelompok 4, tampil di hadapan teman-teman sekelasku. Rasa gugup tergambar dari muka-muka kami yang berdiri tegak sembari menanti suara backsound tanda dimulainya drama.