Semula stigma teroris itu disandangkan kepada kelompok MERAH, kelompok Marxis, kelompok kiri yang meresahkan kapitalis. Kini stigma teroris disandangkan kepada kelompok Islam yang meresahkan kapitalis.
Organisasi teroris ekstrim kiri Italia, Brigade MERAH (Brigate Rossa) diresmikan berdirinya pada 1970. Pendirinya Renato Curcio dengan membentuk kelompok diskusi berhaluan kiri. Kelompok teroris sayap kiri Jerman Barat, Sempalan Tentara MERAH (Rote Armen Fraktion), Baader-Meinhof berdiri pada 1968. Pemimpinnya Andrea Baader (1943-1977) dan Ulrike Meinhof (1934-19986).
Organisasi Pembebasan Palestina (Munazzarat at-Tahrir Filistiniyah), PLO berdiri pada 1964, bertujuan menciptakan negara Palestina yang sekuler dan demokrasi, dengan usaha menyingkirkan Israel. Tentara MERAH Jepang (Sekigunbu) dibentuk pada 21 Oktober 1961 oleh mahasiswa Universitas Kyoto dan Universitas Meiji. Dipimpin oleh Tokaya Shiomi dan Fusako Shigenobu.
Teroris legendaries dari Venezuela, Illich Ramirez Sanchez yang popular disebut Carlos adalah orang kaya. Carlos pernah kuliah di Moskwa. Ia meninggalkan kemewahan, mati-matian berkiprah dalam dunia terorisme. Begitu juga latar belakang anggota kelompok Baader-Meinhof di Jerman Barat, Brigate Rose di Italia, atau Sekigun di Jepang.
Para analis seperti Anthony Storr menyatakan, pelaku teror umumnya penderita psikopat agresif, yang kehilangan nurani, kejam dan sadistis. Kelompok psikopat agressif bisa melakukan teror sekedar untuk terror, terror qua terror, menciptakan sensasi dengan kekejaman. Kaum anarkis, nilistis, dan revolusisoner melakukan teror untuk mengubah tatanan dunia yang penuh ketimpangan dan ketidakadilan.
Penganjur utamanya adalah tokoh Rusia dari abad ke-19, Mikhail Bakunin. Mereka ingin menghancurkan dunia yang ada dan menggantinya dengan tatanan baru yang penuh keadilan (Kompas, Sabtu, 18 Juni 2009, hal 3, “Teror Puncak Kekerasan”).
Filosof Barat, Joseph Pierre Proudhon mencetuskan revolusi kiri dengan kredonya “Destruam et aedificabo. Hancurkan lalu bangun” (SABILI, No.01, Th.X, 25 Juli 2002, hal 35, “Saatnya Revolusi Islam”).
Menurut Tan Malaka, revolusi itu hanya bisa timbul pada saat krisis, pada saat adanya pertentangan, pertempuran, pergolakan antara Orde Yang-Lama yang tak sanggup lagi mengatur, dan Orde Yang-Baru, yang sudah sanggup berkorban sebesar-besarnya (“Dari Penjara ke Penjara”, III, 1948:34).
Pelaku jihad (be a good Moslem or die as syuhada) dipandang sebagai orang-orang bodoh yang sudah dicuci otaknya, mengalami brainwashing, sehingga mudah percaya akan iming-iming bidadari di surga (Simak pandangan sinis dari orientalis Amerika Serikat, Washington Irving, yang sangat benci terhadap Islam, yang dijadikan acuan, dalam “Sejarah Hidup Muhammad” Muhammad Husein Haekal, terbitan Tintamas, Jakarta, 1984:693).
Pelaku terror itu sekuler, sangat kejam dan berani, sekaligus juga pengecut. Pelaku teror tak kenal Tuhan, akhirat dan moral. Pelaku terror takut mati. Pelaku jihad syahid) kenal Allah, akhirat dan akhlaq Pelaku jihad (syahid) siap mati. Pembunuh ada yang ahli surga dan ada pula yang ahli neraka. Begitu pula korban pembunuhan ada yang ahli surga dan ada pula yang ahli neraka.
Ada yang membunuh dan yang terbunuh masuk neraka. “Jika ada dua orang muslim berhadapan dengan pedang masing-masing, maka yang membunuh dan yang dibunuh keduanya dalam neraka”. Sesungguhnya yang terbunuh juga berniat akan membunuh lawannya (HR Bukhari, Muslim, dalam “al-Lukluk wal Marjan” Muhammad Fuad Abdul Baqy, hadis no.1238, “Riadhus Shalihin” Imam Nawawi, Pasal “Niat Iklas”.
Ada yang membunuh dan yang terbunuh masuk surga. “Allah tertawa pada kedua oang, yang satu membunuh yang lain dan keduanya masuk surga. Yang pertama berperang fi sabilillah lalu terbunuh, kemudian yang membunuh diberi tobat oleh Allah, lalu berjihad, sehingga terbunuh mati syahid” (HR Bukhari, Muslim dari Abu Hurairah, idem, hadis no.1834, idem).
Pertumpahan darah merupakan fenomena (alam dan sosial) yang diprogramkan Allah sejak awal (simak QS 2:30). “Allah telah mentakdirkan dan apa yang dikehendakiNya” (HR Muslim dari Abi Hurairah, dalam “Riadhus Shalihin” Imam Nawawi). “Allah menghendaki, tak ada kekuatan selain dengan Allah” (QS 18:39).
Mayoritas teroris yang tetangkap polisi berasal dari Jawa, “besar dan matang” dalam lingkungan Jawa. Mereka akan ngamuk jika terus-menerus didesak dan diinjak. Ini salah satu karakter dari Werkuduro (Bima), Pandawa Lima.
Mereka sudah tak punya pilihan "ngalah dan ngalih". Satu-satunya pilihan, mereka harus "ngamuk", perang habis-habisan melawan AS, dengan melakukan pengeboman bunuh diri (suicide bombing). Bagi mereka, penjajah Rusia dan Amerika adalah orang kafir yang harus diperangi.
Penjajah Amerika sangat kuat dan punya "outlet-outlet ekonomi dan budaya". Outlet-outlet ini harus dihancurkan. Bagi mereka, Islam itu harus tegak dengan label Islam lengkap dengan atributnya (H Bambang Pranowo : “Orang Jawa Jadi Teroris”, Seputar Indonesia, Sabtu, 23 Juni 2007, hal 6).
Hewan, sekecil apapun, bila kehidupannya terancam, akan melakukan tindakan perlawanan apa pun yang bisa ia lakukan. Manusia pun, bila kehidupannya terancam akan melakukan tindakan perlawanan apa pun yang bisa ia lakukan.
Mereka-mereka yang diklasifikasikan, dikategorikan sebagai teroris, sebagai pelaku teror bom, karena diteror, diintimidasi, diuber-uber, dikejar-kejar terus menerus, akan melakukan tindakan perlawanan apa pun yang bisa ia lakukan. Teror bom, bom bunuh diri hanyalah salah satu aksi perlawanan yang ia lakukan, karena kehidupannya sudah sangat kritis, sangat terancam kelangsungannya.
Keras lawan keras, teror kontra teror tidak akan menyelesaikan masalah. Kutuk-mengutuk pun tak akan menyelesaikan masalah, bahkan akan memperparah keadaan. Kekerasan melahirkan kekerasan (Yudi Latif : “Terorisme : Anak kandung Kekerasan”, Koran Tempo, Sabtu,, 12 Agustus 2003, hal 6).
Teror bom bisa diamati, dibaca dengan menggunakan kacamata, disiplin ilmu yang dimiliki untuk memahami sikon masyaraat. Dilihat dengan kacamata psikologi politik, maka teror bom membawa pesan, bahwa masyarakat sedang dalam kondisi sakit. Dalam masyarakat subur ketidakadilan, ketimpangan, kesenjangan dalam segala sektor kehidupan (IPOLEKSOSBUD) (Simak Y F La Kahja : “Membaca Pesan Politis Teror Bom Bali II”, Kompas, Sabtu, 8 Oktober 2005, hal 38).
Jika ingin menyelesaikan aksi terror cari dulu akar masalahnya. Setelah diketahui apa akar masalahnya baru dicarikan solusi penanganannya. Kalau akar masalah teroris adalah karena idiologi maka selesaikanlah dengan idiologi. Kalau masalahnya karena ketidakadilan maka selesaikanlah soal ketidakadilan.
Kalau masalahnya soal kemiskinan maka selesaikanlah dengan soal kemiskinan. Akar masaah justru karena umat Islam telah diperlakukan tidak adil dimana-mana (Imran : “Terorisme dan Akar Masalah”, Buletin Jum’at Asy-Syams, Bekasi, No.9, 28 Agustus 2009, hal 3).
Model pencegahan teroris menurut mantan Komandan Densus 88, Suryadarma Salim adalah dengan memperlakukan mereka sebagai warganegara (Tayangan TvOne, Rabu, 22 Juli 2009, 0700-0800, 2000-2100). Diperlukan penegakan keadilan dan HAM. Memberikan mereka pekerjaan, kata AM Hendrprioyono, mantan intelijen.
Kombes Petrus Reinhard Golose mengemukakan bahwa untuk mengantisipasi teroris dengan melakukan Radikalisasi Terorisme secara holisstik (menyeluruh), inter-disiplin (lintas sektoral), bukan secara parsial (setengah-setengah) TvOne, Jum’at, 21 Agustus 2009, 0630-0700).
Menurut para purnawirawan TNI AD, masalah penyelesaian terorisme haruslah secara lintas sektoral (Kilas Berita Liputan 6 SCTV, Kamis, 6 Agustus 2009, 12.00).
Dulu diisukan komunis merupakan bahaya laten. Kini diisukan Islam Wahabi merupakan biang teroris (Simak pernyataan AM Hendropriyono, dalam wawancara dengan Karni Ilyas d TvOne, pada Rabu, malam Keis, 29 Juli 2009).
Karena mereka yang dicap sebagai teroris itu kebanyakan merupakan alumni Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki Solo, maka kini kembali giliran Ustadz Abu Bakar Baasyir dijadikan sasaran tembak, di samping Noerdin M Top.
Para ahli dan praktisi ilmu sosial seyogianya urun rembuk menemukan solusi bagaimana caranya agar mereka-mereka yang dituding sebagai dalang teroris tidak lagi terancam kehidupannya, dan segera meninggalkan aktivitasnya yang berhubungan dengan bom-membom.
Para ulama, kiai, ajengan, ustadz, da’i, muballigh secara berjama’ah mengkaji Qur:an dan Hadits, menemukan solusi Islam bagaimana caranya agar mereka-mereka yang dituding sebagai dalang teroris tidak terancam kehidupannya dan segera meninggalkan aktivitasnya yang berhubungan dengan bom-membom.
Seyogianya MUI pro aktif menjelaskan secara rinci tentang masalah jihad, baik secara lisan maupun secara tulisan. Menyusun buku referensi, maraji’, rujukan tentang jihad. Dalam konteks masa kini, sebenarnya siapa saja yang bisa dikategorikan, diklassifikasikan sebagai musuh, lawan Islam dan kaum Muslimin. Dan bagaimana pula seharusnya sikap umat Islam dalam menghadapi musuh, lawan tersebut. Serta bagaimana pula menyikapi pandangan sesama Islam yang berbeda.
Apa yang dinamakan teror oleh George Bush, Tony Blair, John Howard dan pendukungnya adalah aksi kontra teror, aksi menantang, melawan anti terorisme. Aksi anti terorisme ini dilakukan oleh pendukung Palestina Merdeka.
Sedangkan aksi teror dlakukan oleh pendukung Zionisme Israel.Selama tindakan brutal dilakukan oleh Zionis Israel dan pendukngnya terhadap Palestina Merdeka, maka aksi anti terorisme akan tetap dilakukan oleh pendukung Palestina Merdeka.
Aksi anti terror hanya dapat dihentikan, bilamana Amerika Serikat dan sekutunya berhenti mendukung kebrutalan Zionis Israel, tak membiarkan Zionis Israel berbuat semena-mena terhadap Palestina Merdeka.
Aksi anti teror tak dapat dibasmi dengan dengan menyingkirkan Taliban, Al-Qaeda, Osama bin Laden, Hambali, Imam Samudera, Saddam Husein, dan lain-lain. Amerika Serikat dan sekutunya memandang bahwa dengan melenyapkan mereka itu persoalan selesai. Ternyata semakin banyak aksi anti teror ditumpas, semakin marak aksi anti teror. (Asrir Sutanmaradjo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar