Alasannya, kamera digital justru membatasi kebebasan dalam mengekspresikan diri melalui karya foto.
"Segala hal dalam setiap bidikan gambar adalah hasil ekspresi pembidik dan pasti memiliki arti," kata pembina Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) "Mirror", Anggoro Poernama Sidi, Jumat (13/8/2010).
Alasan lebih jauhnya, demikian Anggoro, mahasiswa saat ini lebih mengedepankan kualitas gambar yang diperoleh melalui kecanggihan kamera dan mengesampingkan nilai ekspresi dari hasil sebuah foto.
Ia menuding, kecanggihan kamera itulah yang secara tidak langsung menjadi salah satu tolak ukur kualitas gambar yang dihasilkan sehingga akan mengekang kreativitas mahasiswa dalam berimajinasi.
"Pengetahuan mahasiswa juga dicekoki teori bahwa sebuah foto hanya dapat bercerita jika hasilnya bagus secara komposisi dan teknis, ini semakin menyempitkan ruang mereka dalam berekspresi," katanya.
Padahal, kata dia, tidak ada batasan dalam menunjukkan eksistensi setiap mahasiswa karena setiap manusia telah dianugerahi imajinasi untuk berekspresi dan menyampaikan sebuah pesan.
"Kebebasan ekspresi dimiliki oleh setiap individu dan merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, kemajuan teknologi yang membuat semuanya semakin mudah dan praktis sebenarnya bukan acuan utama mahasiswa untuk berekspresi dalam menyampaikan pesan melalui bidikan lensa.
"Sebab, jika telah berpendapat bahwa gambar yang bercerita dinilai dari kualitas kamera yang digunakan, maka hal tersebut dapat menimbulkan anggapan bahwa berekspresi itu mahal," tegasnya.
Berkaitan dengan hal itu, kata dia, UKM Mirror mencoba memasilitasi para mahasiswa yang telah menghasilkan berbagai karya foto dalam pameran yang bertajuk Freedom in My Frame.
Pameran yang berlangsung pada 9-21 Agustus 2010 tersebut diikuti 18 peserta yang terdiri atas mahasiswa, dosen, dan karyawan Unika Soegijapranata, bertempat di lorong gedung Thomas Aquinas Unika Soegijapranata Semarang.
dikutip dari kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar