Aku tak tahu sejak kapan perubahan ini mendekam dalam diriku. Semua terjadi begitu saja, seperti angin yang menyusup lewat pori-pori kulitku.
Dan dari analisa dua sahabatku, Tursina dan Hani, aku terkena sindrom asmara.
“Wah, kamu keto’e kene’ sindrom sing akut iki, Kri,” Tursi dengan matanya yang mengeluarkan kesan ganjil membuat aku makin tak mengerti apa yang tengah terjadi padaku. “Iya, Kri. Awakmu kayake tengah terkena penyakit sing durung isa ditebak kapan akan menghilang. Mungkin seumur hidupmu ora bakalan isa ilang dari dalam awakmu iku,” Hani menimpali pernyataan Tursi sebelumnya. Dan itu makin membuat aku terjatuh lebih dalam dalam sebuah kotak yang berhiaskan jutaan tanda tanya.
“Kalian iki ngomong apa sih?” Aku yang sedari tadi hanya mendengar ocehan mereka, mulai angkat bicara. “Aku gak ngerti sama sekalian maksud ucapan kalian?”
“Hadeh..” Tursi menghela nafas sejenak, “Awakmu iku jago bikin puisi, tapi gak isa nangkap maksud yang tersirat dari kata-kata kami seh, gak paham juga tah?”
Kotak yang penuh dengan jutaan tanda tanya tadi semakin mendalam. Aku kian dibingungkan dengan ucapan Tursi itu. Aku pun memeras lebih keras otakku. Berharap mampu membaca pesan yang tersiratkan. Tapi hasilnya tetap nihil. Tak bisa aku temukan pesan tersembunyi itu.
“Udah, rek. Kok tiba-tiba kalian jadi puitis ngene , rek? Pengen ngedoktrinin aku ben tambah jago bikin puisinya, ya? Emang aku akui, puisi masih belum bisa makai majas atau kata-kata indah layaknya para pujangga. Tapi, masa aku dalam kehidupan sehari-hari musti menghadapi orang-orang yang menyiratkan sesuatu lewat yang tersurat, sih?”
Hani berdecak heran dengan ucapanku itu.
“Nguomong apa sih awakmu, Kri? Ora mudeng blas awakku! (Ngomong apa sih kamu, Kri? Gak paham sama sekali aku!Ngomong apa sih kamu, Kri? Gak paham sama sekali aku!) "
“Maklum, Han, calon arek sastra iki. Bahasae susah ditangkap orang awam (Maklum, Han, calon anak sastra ini. Bahasanya susah ditangkap orang awam),” ucap Tursi.
Aku semakin merasa pertanyaanku sama sekali tak didengar oleh mereka. Aku pun bangkit dari tempatku, dan memutuskan untuk keluar dari kelas yang telah menjelma menjadi ruang pesakitan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar