Aku semakin merasa pertanyaanku sama sekali tak didengar oleh mereka. Aku pun bangkit dari tempatku, dan memutuskan untuk keluar dari kelas yang telah seperti ruang pesakitan. Ketika aku hendak menginjakkan kaki ke keluar kelas, Hani memanggilku.
"Aduh, rek-rek. Awakmu pancet ae, ojo ngambekan ngono tah wah (Aduh-duh. Kamu tetep aja, jangan suka ngambek gitu).”
“Iya, gak asyik, ah,” ujar Tursi dengan raut sedikit setengah cemberut.
“Wes, sinio lagi. Tak kasih tahu maksud’e sing mau. Gelem ora? (Dah, sini lagi kamu. Aku kasih tahu maksud yang tadi. Mau gak)” tanya Hani
Aku yang sebelumnya ingin keluar dari kelas, kembali ke tempat dudukku. Berharap kali ini mereka benar-benar ingin mengatakan secara gamblang. Tanpa memberitahunya dengan tersirat. Semoga saja.
“Maaf-maaf,” Hani meminta maaf atas perlakuan mereka sebelumnya. Aku pun memaafkan mereka.
Gini lho, Kri, maksudku tadi iku awakmu keliatane lagi suka ma seseorang (Gini lho, Kri, maksudku tadi itu kamu kelihatannya lagi suka sama seseorang),” Tursi berhasil meyakinkan aku bahwa mereka benar-benar ingin menceritakannya sercara lugas. Aku pun memasang posisi yang nyaman mencoba mengetahui kelanjutannya.
“Iya, mukamu iku lho keliatan berseri-seri, kayak orang sing hatine lagi jatuh cinta ngono lho (Iya, mukamu itu lho keliatan berseri-seri, kayak orang yang hatinya lagi jatuh cinta gitu lho),” Hani menimpali. Dan pernyataan yang dilontarkannya itu membuat aku seperti terenyuh.
“Hah? Apa mungkin aku suka ama seseorang? Seumur-umur aku belum pernah rasain yang orang bilang itu cinta monyet?” Aku ragu dengan apa yang dikatakan oleh Hani, karena memang benar aku belum pernah merasakan perasaan itu.
Ketika teman-teman SD mulai menjalin hubungan, meski masih dalam taraf cinta monyet, aku masih menganggap kaum hawa sebagai teman. Sama sekali tak ada ketertarikan kepada salah satu di antara mereka. Apa aku ini normal atau tidak, entahlah. Aku benar-benar menikmati masa-masa SD-ku sebagai anak tanpa cinta. Terdengar menyedihkan memang. Sekaligus memalukan. Mungkin.
*******
Semenjak kejadian di ruang kelas itu, pikiran kini dipenuhi dengan pertanyaan: Am I really love her? Tiap detik terngiang-ngiang akan apa yang dikatakan oleh Hani dan Tursi siang itu. Dan kini diriku benar-benar merasakan keanehan yang kian menjadi.
Aku memang belum merasa seperti ini. Meski sewaktu di Filipina, saat kelas 3 SD, aku sempat penasaran dengan seorang gadis teman sekelasku bernama Mia Mirasta. Gadis itu keturunan ras Tionghoa, dengan pipinya yang gembil itu membuat mukanya terlihat menggemaskan, ditambah senyum manisnya. Dan itu hanya sebatas rasa penasaran untuk mengenal sosoknya, bukan rasa yang hari ini menyesakkan dada. Sayangnya sewaktu itu aku belum punya keberanian untuk mendekatinya, dan lebih memilih bersahabat dengan Wilfren dan Ronello. Dan keadaanku kali ini benar-benar membuat aku tak seperti diriku yang biasanya.
Sebelumnya aku yang sering menulis puisi-puisi tentang indahnya persahabatan, sedikit demi sedikit beralih ke puisi beraroma roman picisan. Seluruh apa yang kini kurasakan aku coba tuangkan ke dalam sebuah puisi yang sama sekali tidak ada nilainya; hanya beruba rangkaian beberapa baris kalimat sehari-hari.
*******
Mengapa ada air mata yang siap terteteskan di balik setiap tawa?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar