Senin, 23 Januari 2012

Sebuah Rahasia Kecil (Part 5)

...

Mengapa ada air mata yang siap terteteskan di balik setiap tawa? Mengapa harus ada kebencian ketika cinta itu sejatinya indah? Mengapa Tuhan menciptakan sebuah pertemuan jika pada akhirnya digariskan untuk berpisah? Mengapa ada hitam di saat kita tahu bahwa putih itu warna yang menyenangkan untuk dipandang?

Setiap apa yang terjadi dalam hidup ini pasti berlaku sebuah hukum karma. Dimana setiap apapun yang kita lakukan dan terima, kelak suatu saat kita akan mendapatkan konsenkuensinya. Seluruhnya dipertanggungjawabkan, tak ada yang mampu merubah takdir yang telah digariskan di kedua telapak tangan kita.

Cinta itu memang indah. Akan tetapi di kala seseorang ditinggal yang dicinta, akan meninggalkan kepedihan dan kesedihan yang mendalam. Cinta itu memang sesuatu yang menyenangkan untuk dinikmati. Namun sewaktu cinta itu terasa tak lagi ada seluruhnya berubah menjadi dua kali dari sebelumnya. Menjadi jauh lebih membosankan segala rutinitas hidup yang dijalani. Cinta itu sejatinya mampu membuat hidup ini lebih berharga. Tetapi di saat seseorang menjual murah cinta yang ia miliki, maka hidupnya pun seperti tak ada harganya lagi.

Menari di atas penderitaan orang lain menunjukkan orang tersebut tak lagi memiliki rasa cinta di dalam hatinya. Terlebih menikam maupun menusuk orang yang memercayai kita menggambarkan bahwa sang pelaku kehilangan cinta kasihnya. Andai dunia mulai dipenuhi orang-orang seperti itu, maka hidup ini menjadi tak lagi indah. Yang kaya makin kaya, dan yang miskin makin miskin. Yang duduk di gedung-gedung pemerintahan tak lagi menghargai orang pinggiran yang terang-terang membuatnya duduk di kursi imporan itu. Kacang lupa akan kulitnya.

*******

Beberapa bulan telah berlalu dengan aku dalam kondisi menyocokkan apa yang dikatakan dua sahabatku tempo hari itu dengan realita yang tengah aku hadapi. Setelah melalui proses perenungan yang cukup lama, pada akhirnya aku menarik kesimpulan: I really love her.

Setelah meyakinkan diri bahwa aku benar-benar jatuh hati pada sosok Dewi, hidupku berangsur-angsur pulih. Meskipun tak mencapai rasio 50 %. Tak apalah aku tergila-gila karenanya. Rasanya benar-benar “ajaib”. Meskipun struktur hidupku dibuat kacau oleh perasaan itu, aku menikmati rutinitas yang baru aku tambahkan: melamunkan sosoknya. Rasanya tak ingin cepat-cepat aku “mendarat”, dan ingin terus terbang tinggi bersama khayalanku. Dan tak jarang aku senyum-senyum tak jelas di kala teringat permusuhan kami semasa SD dulu.

Walau kini tahu apa yang terjadi pada diriku, aku tak mau terlampau gila menjatuhkan hatiku padanya. Karena aku tahu pasti akan sakit rasanya bila kenyataannya berkata lain. Aku lebih memilih menyimpan rapat-rapat perasaanku padanya itu. Aku lebih memilih bersikap seperti sebelum aku merasakan keanehan dalam diriku, menjalani hidup sebagai pelajar SMP.

Pada awalnya aku sanggup melakukan semuanya itu. Namun lambat laun langkahku semakin berat untuk aku bawa masuk ke dalam kelas. Otakku kian terbebani gambar dirinya yang terekam dalam benak. Dadaku terasa kian hari kian tersesakkan oleh perasaan itu. Aku butuh bantuan.

Maka aku putuskan untuk bercerita kepada para sahabatku. Pada siang hari aku berbagi cerita kepada Tikitik dan Ulul, dan di malam harinya waktu untukku berbagi cerita kepada Tursi dan Hani. Ternyata keputusanku untuk berbagi kepada mereka sangat tepat. Berbagai dukungan dan masukan serta bantuan aku dapatkan dari mereka. Mereka benar-benar sahabat yang sangat responsif dan berempati.

“Kalau kamu butuh bantuan, bilang ke aku ae, Kri,” kata Hani.

“Sobatku sing kribo, lek awakmu pengen ero yha apa perasaane dhe’e ke awakmu, ndang ditembak lho. Nunggu apa maneh lho, Kri (Sobatku yang kribo, kalo kmau pengen tahu gimana perasaaanya di ke kamu, buruan ditembak lho. Nunggu apa lagi lho, Kri) ?” Tursi mulai mendesakku. Kemudian ia mengerlingkan mata.

Ulul dengan sedikit berpuitis memberiku saran yang tak jauh berbeda dari Tursi, “Nah, tunggu apa lagi, Kri? Lek awakmu laki-laki, buktikan lek awakmu benar-benar suka ama dia! Tembak dengan keindahan yang kau punya, teman (Nah, tunggu apa lagi, Kri? Kalo kamu laki-laki, buktikan kalo kamu benar-benar suka ama dia! Tembak dengan keindahan yang kau punya, teman) .”

“Secara peluang, awakmu punya kesempatan. Itu berdasarkan determinan yang aku dapatkan dari awakmu, Kri,” ujar Tikitik. Dalam masa seperti ini saja Tikitik masih saja melibatkan istilah-istilah dalam matematika. Benar-benar penggila matematika.

Masalah tak berhenti di situ saja buatku. Aku yang selama ini terbilang tertutup harus dihadapkan kepada kenyataan bahwa aku harus menyatakan cinta kepada Dewi. Jangankan mengutarakan perasaanku, berbicara saja banyak orang yang tak menghiraukan aku.

Hampir setiap malam aku membuat janji dengan seseorang di ruang tidurku. Dan sosok itu selalu datang setiap aku ingin menemuinya. Sosok yang kumaksud adalah refleksi diriku sendiri pada cermin di dinding kamarku.

Kami sering berdiskusi bagaimana cara yang terbaik untuk aku mengutarakan perasaanku ini. Ia tahu benar bahwa sosokku bukan termasuk ke dalam golongan orang yang sanggup berbicara panjang lebar dengan orang lain, terlebih menyampaikan hal yang seperti itu. Bisa-bisa sebelum aku mengeluarkan sepatah kata pun, hilang sudah kesadaranku di hadapan sang pujaan hati.

Aku kian dihadapkan kepada lapisan-lapisan dilema selanjutnya.


...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar