... Aku kian dihadapkan kepada lapisan-lapisan dilema selanjutnya. Semua dilema itu membuat kepalaku ingin pecah untuk menganalisanya. Otakku pasti tercecer dimana-mana kalau aku terlalu memaksakan diri melakukannya. Aku pun cukup diam dan tak mau ambil resiko, dan memersilahkan sosok dalam cermin itu mencari solusi.
Suatu malam, ketika aku kembali bertemu dengan sosok dalam cermin itu, ia mengatakan ada ide untukku. Namun ia membutuhkan beberapa saat untuk kembali mengingat-ingat gagasan yang ia dapatkan siang tadi. Jarum jam kamarku kini terlihat berputar. Sudah hampir 1 jam berlalu, tapi ia tetap saja membisu seakan kehilangan permata yang ditemukannya tadi siang. Rasa kantuk mulai menggodaku untuk segera menuju tempat tidur yang terlihat lebih empuk dari biasanya. Aku tak kuat lagi menahan rasa kangenku terhadap bantal dan gulingku. Mungkin besok ia akan mampu memberitahukannya padaku.
Di saat aku hendak melangkah meninggalkan cermin, ia mencegahku.
“Tunggu! Jangan pergi dulu! Aku sudah ingat kembali ide yang tadi siang aku dapatkan!” Ia tampak merapikan pakaiannya dan berdehem sekali tanda ia akan mengatakan sesuatu yang penting. Ia terlihat telah siap mengatakannya. “Mengapa kamu tidak coba mengutarakan perasaanmu itu secara tulisan kalau kamu merasa tidak mampu secara lisan, Kri?”
“Secara tulisan?” Aku sedikit kurang paham dan kembali bertanya,” Maksudmu seperti menulis surat padanya?”
“Ya salah satunya. Apa salahnya mencoba. Walaupun mungkin memberi kesan kurang gentle, tapi setidaknya kamu telah menunjukkan keberanianmu sebagai lelaki,” tukasnya mantap.
Perkataannya itu sanggup membuat tidurku lebih indah dari sebelumnya.
*******
Besok malamnya, semenjak pukul 09.00 tadi, setelah sembahyang, aku telah duduk terpaku di hadapan secarik kertas putih polos berukuran A4. Bolpen yang tergeletak di sebelahnya sama sekali belum tersentuh olehku. Menulis surat untuk seseorang yang spesial ini aku rasa jauh lebih susah dibanding ketika aku harus surat-menyurat dengan Tursi ataupun Ulul. Pikiranku stagnan dan seperti tak ada sekatapun yang mau melintas di depannya.
Lagu reggae dan lagu-lagu bernuansa cinta lainnya sedari tadi berotasi menemani kemacetan pikiranku. Dan ketika jam menunjukkan pukul 09.20, tiba-tiba ide segar mengalir seperti darah membawa oksigen ke otakku. Tanpa menyia-nyiakan waktu lagi, segera aku tulis apa yang ada dalam pikiran dan perasaanku.
Aku pun membubuhkan sebuah puisi di lembar berikutnya. Sepertinya telah siap segala urusan, tinggal memasukkan ke dalam sebuah amplop. Celakanya aku lupa persediaan amplopku telah habis sebulan yang lalu. Tak habis akal, aku mengambil selembar A4 yang ke-3, dan membuat sebuah amplop sederhana darinya.
Kugambar sebuah ilustrasi seorang gadis jelita yang tak lain-tak bukan adalah Dewi, dan seorang pria yang menggambarkan sosokku pada bagian depan amplop. Di antara kedua sosok manusia itu tertulis dengan indah: Teruntuk Dewi Permata Sari, hurufnya pun dengan susah payah aku tulis menyerupai gaya tulisan roman-roman Eropa. Elegan dan sarat dengan romance.
Sebelum aku mengirimkan surat itu padanya, aku semprot minyak wangi di kedua sisi amplop itu. Keadaanku saat itu benar-benar terinfluens oleh tayangan di televisi yang sering aku lihat. Ah, beginilah rasanya jatuh cinta? Kemudian aku pun tersenyum sendiri membayangkan apa jadinya ketika surat ini kulayangkan padanya.
Pukul 06.30, aku berangkat dengan sejuta ketidakpastian atas hal-hal yang akan terjadi pada hari ini. Terlebih terdapat sepucuk surat spesial di dalam ransel. Matahari mulai menghangatkan hati dan jiwaku, juga hatiku.
Rencananya, di saat istirahat nanti, aku bergerak seperti ninja untuk masuk ke kelasnya, dan menyelipkan surat itu ke dalam tasnya. Dan sewaktu di rumah nanti, ia akan terkejut ketika menemukan benda asing bersemayam di dalam tas merah mudanya. Benar-benar sempurna
Bel tanda waktu istirahat suaranya terdengar dari speaker di pojok kanan atas ruang kelas. Waktunya menjalankan rencana.
Ah, akhirnya datang juga waktu untuk menyuratkan isi hatiku.Aku meninggalkan kelasku tanpa sepengetahuan keempat sahabatku, dan segera menuju kelas 7C yang berada di lantai 2.
Waktu terasa begitu lambat bergeraknya. Tatapan semua orang mengisyaratkan kecurigaan dari gerak-gerikku, berharap aku tertangkap basah. Butiran-butiran peluh membawa kegugupanku keluar dari jiwa-ragaku. Di setiap langkah kakiku, aku merasakan terjadi pertempuran, antara rasa cemas dan optimis, di dalam kepalaku. Tapi aku tak mau terlalu jauh terbawa kecemasanku. Bila aku dapat melihat kondisiku saat ini, mungkin aku terlihat seperti jiwa yang berada di padang mahsyar. Menanti keputusan akhir Tuhan, apa aku akan menjadi salah satu penghuni surga atau neraka.
Tangga yang aku lewati pun terasa bertambah anaknya. Rasanya lantai 2 telah berpindah ke lantai 20. Massa tubuhku pun naik dengan seketika.
Setelah melalui berbagai fatamorgana itu, akhirnya berhasil juga aku menginjakkan kaki pertamaku di lantai dua. Segala ‘kepalsuan’ itu seketika hilang. Semua kembali berjalan apa adanya, kembali berjalan normal.
Setelah aku pastikan bahwa Dewi tidak lagi ada di dalam kelas, aku mulai mengendap-endap.
Sialnya tak sepenuhnya kosong. Ada dua orang tengah asyik bermain gadget mereka di pojokan kelas. Setelah mempertimbangkan keadaan, ternyata situasi dan kondisi masih berpihak padaku.
Aku lebih menjinjitkan kedua kakiku agar tak menimbulkan suara sama sekali. Dalam tradisi sini, gerakanku tak lebih dari maling yang tengah menyatroni rumah orang.
Perlahan namun pasti, aku berhasil mencapai target sasaranku. Bangku tempat Dewi duduk.
Aku membuka risleting tas ransel itu dengan hati-hati sampai tak terdengar bunyi senada pun. Kukeluarkan surat spesial itu dari dalam saku celanaku, dan dalam hitungan sepersekian detik surat itu telah terselip di antara buku catatannya. Dan kupastikan misiku ini berhasil.
Aku bergegas kembali menuju ruang kelasku. Namun sebelum aku melewati pintu, aku tersandung sendiri oleh langkahku. Dan aku terjatuh ke dalam sebuah ruang hampa serba hitam. Aku persis seperti Alice yang terjatuh menuju Wonderland.
...