Selasa, 18 Oktober 2011

Sebuah Nisan (Part 1)

Pohon-pohon tinggi di sekitar bergoyang elok dibelai lembut oleh angin. Awan gemawan berarak menuju arah barat. Sinar surya menghangatkan tempat ini, suara kesunyian tertangkap olehku. Sesekali terdengar kicauan kecil burung yang hinggap di salah satu dahan pohon, menambah kesan angker tempat ini. Tak ada seorang pun di sini selain aku, hanya aku sendiri di sini. Aku duduk di hadapan sebuah batu nisan, lekat ku tatap nisan tersebut. Terlihat warnanya mulai mengusam karena usia. Gundukan tanah yang kini telah ditumbuhi rumput hijau itu merupakan tempat peristirahatan dari seseorang yang aku sayangi. Tursina Andriani.

Kepalaku tertunduk, aku masih tak percaya bahwa ia telah meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Seakan waktu terlalu cepat mengambil ia dari sisiku. Aku benar-benar merasa kehilangan sosoknya. Tanpa aku sadari, secara perlahan namun pasti, air mata mulai berjatuhan ke bumi. Kian lama, kian bisa kudengar suara air mata yang menetes. Terdengar seperti sebuah rangkaian nada yang mencerminkan kesedihanku. Seketika pikiranku terjebak ke sebuah kenangan. Terhanyut terbawa pada kenangan masa lalu, kembali menuju empat tahun silam.

Surabaya, 13 Januari 2007...

Sabtu sore ini aku harus menuju ke rumah temanku di daerah Amir Mahmud untuk berlatih lagi tugas kelompok Bahasa Indonesia, menyajikan sebuah pertunjukan drama.

Sesampainya di sana, terlihat telah banyak teman sekelompokku dari kelas 9F yang telah menunggu di teras rumah berdinding hijau muda itu. Bangunan tersebut bentuknya tak beda jauh dari tetangganya. Sederhana, dengan halaman bertanah yang lumayan cukup luas, dan tanpa pagar. Di seberangnya berdiri sebuah tembok dengan plesteran kasar. Lumayan untuk jenis hunian yang hanya dapat diakses melalui sebuah jalan seukuran sepeda motor.

Defi Melandari, sang tuan rumah, tampak tengah sibuk menyiapkan apa-apa saja yang dibutuhkan untuk latihan. Seperangkat komputer lengkap dengan mejanya diletakkannya di ruang tamu. Speaker aktif berbentuk persegi panjang dengan bingkai kayu menjadi satu-satunya sumber penghasil suara latar nantinya.

Aku turun dari Vegaku, dan segera menghampiri mereka.

“Assalammu’alaikum,” kuucapkan salam sebagai tanda telah hadirnya aku. Mereka pun membalas dengan serentak,” Wa’alaikumsalam.”

“Maaf ya, aku telat datangnya.”

“Gak apa-apa kok, Dik. Ini juga belum beres nyiapin komputernya.” Defi terlihat masih sibuk menyambungkan kabel speaker ke CPU komputer.

Aku mendatanginya untuk menawarkan bantuan, “Butuh bantuan, Def?”

Ia tersenyum manis, dan berkata,” Boleh. Nih, kabelnya.”

“Siaplah.” Aku memandang ke luar, dan bertanya,” Mereka tidak ikut bantuin tah, Def? Kasihan amat kamu kerja sendirian.”

Lagi, Defi melemparkan senyuman manis, dan berkata,” Anak-anak pada capek katanya. Mereka kan banyak yang naik sepeda ke sininya. Kasihan mereka. Lagipula biasanya kan aku sendiri yang menyiapkan ini.”

Defi yang aku kira hanya cewek tomboi dan sedikit keras kepala ini, ternyata juga memiliki simpati yang besar kepada temannya. Salut aku padanya. Anak SMP yang satu ini ternyata sudah memiliki sifat simpati-empati yang cukup besar kepada orang-orang di sekelilingnya. Sudah amat jarang menemukan sosok sepertinya di zaman yang sudah sedikit mulai individualis.

“Eh, Dik, aku bikin minuman dulu ya. Dari tadi belum sempat aku kasih minum mereka. Lihat, muka-muka mereka seperti tanaman yang belum disiram,” kami pun tertawa kecil.

Speaker telah tersambung ke komputer. Aku coba memutar file lagu yang telah disusun oleh Defi melalui Movie Maker. Kubuka folder dokumennya, kudapati banyak sekali data yang tersimpan di sana. Format .doc, .ppt, .mp3 dan .jpg bercampur menjadi satu dalam folder tersebut. Aku tak tahu file mana yang merupakan lagu backsound drama kami. Kuklik kanan untuk mengurutkan data-data tersebut berdasarkan jenis formatnya. Tampilan yang sebelumnya thumbnail, kuubah menjadi list. Pada deretan format .mp3, kulihat satu persatu tanggal kapan file-file itu dimuat. Akhirnya kutemukan juga lagu backsound kami, yang diberi judul Persahabatan 9F.

Lagu tersebut merupakan gabungan dari penggalan beberapa lagu musisi sesuai dengan plot drama yang akan kami bawakan.

Defi keluar dari dalam rumah sambil membawa sebuah teko berisi sirup dingin dan beberapa gelas kosong di atas nampan. Ia meletakkannya di meja kayu ruang tamu.

“Nih, Dik. Silahkan diminum.”
“Iya, makasih ya, Def.”

“Semua udah dateng kan?”

“Hmmm,” aku menelan minuman yang memenuhi rongga mulutku. “Kayaknya belum. Si Tursi belum terlihat, Def.”

Defi mencek kebenaran ucapanku. Ia menghitung satu persatu anggota kelompok yang masih terlihat lunglai di teras rumah.

“Teman-teman, masuk dulu. Ada minuman kalo mau. Ya, walaupun cuma sirup dingin.” Ia memersilahkan anggota yang lain untuk masuk ke dalam, memenuhi panggilan tenggorokan yang telah kering seperti padang pasir.

Angga, Ifath, Zulaikhah, dan Irma segera masuk dan meminum es sirup yang telah disajikan. Terpenuhi sudah rasa dahaga yang sedari tadi bergejolak. Air muka mereka seketika kembali berseri. Defi yang menangkapnya, tanpa membuang waktu, meminta semua untuk memulai latihan.

“Teman-teman, yuk, kita latihan sekarang. Sudah gak haus lagi kan?” Defi pun tertawa kecil menyaksikan teman lainnya seperti unta yang baru saja menemukan oasis setelah jauh berkelana.

Latihan pun dimulai. Semua siap di posisi masing-masing. Aku berperan sebagai Binghi, salah satu anggota dari kelompok persahabatan siswa yang selalu bersama dalam suka dan duka.

Dikisahkan siswa yang bersahabat itu tengah menghadapi kesulitan untuk menghadapi UAN (Ujian Akhir Nasional). Mereka memutuskan untuk lebih sering lagi berkumpul dan belajar bersama. Mereka bahu membahu membantu rekannya menyelesaikan kesulitan pelajaran yang belum dikuasai. Mereka benar-benar bersungguh-sungguh dalam menjalani semua itu. Siang sampai malam mereka melakukannya, pulang-pergi setiap hari dijalani mereka, panas terik matahari diterpa, dan hujan deras pun diterjang. Itu semua demi lulus UAN dengan nilai yang memuaskan. Sebulan kemudian, UAN pun diadakan. Rasa cemas dan bayang-bayang kegagalan menghantui mereka. Ditambah banyak berseliwerannya kabar yang mengatakan UAN tahun ini soal-soalnya jauh lebih sulit dibandingkan sebelumnya, tetapi mereka tetap optimis akan mendapatkan hasil yang terbaik nantinya. Seminggu sudah UAN berjalan. Waktu penantian hasil UAN membuat semua siswa diliputi rasa was-was tidak lulus. Semakin mendekati hari pengumuman kelulusan, semakin cepat rasanya jantung ini berdebar. Dan tibalah hari penantian itu. Tujuh sekawan itu berkumpul untuk membuka amplop penilaian kerja mereka. Amplop berwarna putih, dengan tulisan Dinas Pendidikan Surabaya di bagian kop suratnya, menyimpan ketidakpastian masa depan mereka. Suasana mencekam menghampiri mereka. Berbarengan mereka membuka perlahan surat terebut. Setelah membaca seluruh bagian isi surat, semua berteriak “AKU LULUS!!!”. Mereka bertujuh lulus dengan nilai rata-rata di atas 22.

Di tengah asyiknya latihan, sosok yang kami nantikan pun muncul di hadapan kami. Tursi yang datang terlambat terlihat diantarkan oleh bapaknya menggunakan motor berkopling tangan. Ia pun tersenyum pada kami, dan mengucapkan permohonan maaf atas keterlambatannya. Kami pun memaklumi, dan segera memintanya berbaur untuk mengejar ketertinggalan bagian perannya.

Aku amati gadis itu, pakaiannya memancarkan keanggunan darinya. Gaun berwarna biru laut membuatnya tampil ciamik kali ini, ditambah dengan sedikit polesan bedak tipis di wajahnya. Tapi ada kejanggalan yang aku tangkap dari sana, mukanya tampak sedikit pucat dari biasanya. Tatapan matanya tak berbinar seperti biasanya. Seketika di benakku berkecambuk berbagai tanya. Apa yang tengah sahabatku alami? Mungkinkah ia tengah tidak enak badan? Atau ia tengah menghadapi persoalan hidup yang rumit?

*******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar