Selasa, 18 Oktober 2011

Sebuah Nisan (Part 3)

Sesampainya di depan rumah Tursi, aku ingin langsung segera pulang ke rumah. Tapi sayangnya aku ditahan olehnya. Aku disuruh singgah sejenak untuk mengeringkan badanku.

“Dik, masuk dulu aja. Keringin badan kamu biar gak kedinginan. Basah kuyup gitu, entar masuk angin, loh.”

Aku merasa sungkan dan mencoba menolak halus tawarannya,” Maaf, Turs, gak apa-apa kok. Insya Allah gak bakalan masuk angin. Lagipula takut ngerepotin kamunya. Udah dulu, ya. Aku pamit.”

Tapi ia tetap bersikeras memohonku untuk singgah sejenak.

“Beneran, aku gak ngerasa direpotin, kok. Ya, anggap saja rasa terimakasihku karena kamu dah nganterin aku jauh-jauh ke sini, kehujanan lagi.”

“Ya, udah, deh. Daripada kamu terus-terusan ngerasa punya banyak hutang budi ke aku, akunya juga pasti gak bakalan tenang juga. Kalau gitu, aku parkirin dulu motorku.” Aku meletakkan motorku di halaman depan rumahnya, dan tak lupa aku kunci stang. Kulepas helm dan jas hujanku; kuletakkan semua di atas jok.

Kukeringkan pakaianku sekenanya sebelum masuk ke dalam rumah yang sangat sederhana itu. Kuucapkan salam kepada seluruh penghuni rumah di dalam. Terlihat ibu Tursi keluar menyambut kedatangan kami berdua. Ia sempat terkesiap melihat kondisi kami yang sudah mirip dengan gembel di pinggir jalan.

“Aduh-aduh, kenapa kalian bisa sampai basah kuyup gini?”

“Gini, ma, kami tadi latihan kelompok Bahasa Indonesia di rumah Defi sampai malam. Karena papa kan katanya ada tugas mendadak, jadi ya Radik yang nganterin aku pulang kemari,” Tursi mencoba memaparkan apa yang sebenarnya terjadi.

“Ya, sudah kalau memang begitu. Kamu cepat ganti baju dulu sana, nduk. Siapin juga baju ganti buat sahabatmu ini.” Beliau pun berlalu meninggalkan kami berdua.

“Tunggu bentar ya, Dik. Aku ganti baju dulu, sekalian aku carikan baju ganti buat kamu.”

Aku merasa diterima oleh keluarganya, mereka semua baik kepadaku.

Aku yang bengong sendiri di ruang tamu, mengamati tiap-tiap sudut ruang tamu ini. Meskipun kecil, ruang tamu ini tertata dengan apik sehingga berkesan lapang. Sebuah meja berkaca dikelilingi oleh dua buah kursi single di barat dan timurnya, serta sebuah kursi panjang di sebelah utara.

Lampu 20W menjadi satu-satunya penerangan di ruangan ini. Lukisan pemandangan hutan terpajang di sebalah timur, persis di atas kursi tadi. Kemudian, di dinding sebelah selatan, terpajang foto keluarga Tursi yang terdiri dari Bapak, Ibu, Tursi, dan adik lelakinya. Sebuah korden berwarna putih yang menjuntai ke lantai menyamarkan pandangan dari luar jendela. Dan dari tempat aku duduk, di kursi sebelah barat, terlihat sebuah ruang tengah yang dijadikan tempat berkumpulnya seluruh anggota keluarga, sekaligus tempat menyetrika dan menonton televisi.

Terdengar suara pintu terbuka dari balik dinding berfoto itu. Tursi menghampiriku dengan pakaian rumahnya, dan memberiku sebuah baju ganti.

“Nih, Dik. Kamu ganti baju aja dulu gih di kamarku. Mumpung belum masuk angin.”

“Makasih ya, Turs.” Aku terkesima dengan penampilannya yang jauh berbeda dibanding di saat kami latihan drama sore tadi.

Tiba-tiba ia mengagetkanku,” Kamu ngelihatin aku kok kayak gitu? Awas loh kalo sampai berfikiran yang enggak-enggak. Aku jitak kamu.”

Aku pun terbata, tak bisa mengatakan apa-apa dengan benar. Ia pun tertawa melihat tingkah konyolku, disusul dengan tawaku yang menertawakan kebodohanku sendiri.

“Sini, aku tunjukin kamarku buat kamu ganti.”

Ia membawaku ke sebuah ruangan yang menjadi kamar tidurnya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar