Selasa, 18 Oktober 2011

Sebuah Nisan (Part 8)

“Kenapa tante? Apa yang sebenarnya ingin tante beri tahu ke saya?”
Beliau makin tak kuasa menahan tangisnya. Dengan tersedu-sedu ia berusaha menjelaskan semua hal yang terlihat kian meronta minta dilontarkan dari mulut beliau.
Aku terkaget ketika mendengar kabar bahwa Tursi telah pergi dari dunia fana ini setahun yang lalu. Aku masih tak percaya dengan kenyataan tersebut. Seketika tubuhku terasa lunglai tak berdaya.
Hawa kesedihan pun menyebar ke seluruh sudut ruang tamu tersebut. Ruangan tersebut kini mirip tempat berkumpulnya dua insan yang sama-sama kehilangan orang yang mereka kasihi.
Beliau mengatakan, sehari sebelum Tursi meninggal, ia pernah mengatakan,” Ma, tolong sampaikan ke sahabatku bila suatu hari ia datang ke rumah, katakan bahwa aku merasa beruntung mendapatkan sahabat sepertinya. Dia adalah sahabat terbaik yang pernah ada di dalam hidupku. Sayangnya aku tidak tahu harus kemana untuk mencarinya. Mungkin di sana, ia tengah sibuk dengan kehidupan barunya. Tapi aku percaya, ia tidak akan pernah melupakan aku sebagai sahabat sejatinya.”
Mendengar ucapan terakhirnya itu, hatiku bergetar hebat, ragaku terkulai lemas. Aku memandangi foto Tursi yang terpajang di dinding itu. Kemudian aku berkata dengan air mata yang berlinang,” Turs, kamu akan tetap ada di hati dan ingatanku. Karena kamu sahabat sejatiku.”
Sepasang mata pada foto tersebut seakan merespon apa yang aku ucapkan barusan. Kini aku benar-benar tak mampu menahan air mataku.
Aku pun juga baru tahu hari ini, ternyata ia menderita penyakit yang sangat sulit untuk disembuhkan. Sungguh betapa hebatnya dia menyembunyikan penyakitnya itu dari penglihatan orang-orang di sekelilingnya. Ia beralasan tak ingin membuat semua yang menyayanginya merasa cemas dengan kondisinya yang kian melemah dari hari ke hari. Pantas saja sewaktu ia datang terlambat pada latihan drama hari itu, mukanya tampak sedikit lebih pucat dari biasanya.
*******
Setelah kepergian Tursi, entah mengapa hati ini sulit rasanya untuk menerima sosok-sosok baru. Karena aku berfikir tak ada perempuan yang sebaik dan sekuat Tursi. Sampai kapan pun ia selalu hidup dalam kenanganku. Meski aku tahu, waktu terus berlanjut, dan hidup pun harus dijalani lagi. Dan cepat atau lambat, kelak akhirnya hatiku pun bisa mencintai gadis yang lain. Akan tetapi tak akan pernah ada yang mampu menggantikan posisinya di hatiku. Ia tetap sahabatku yang nomor satu.
Kini, yang tersisa dari sosoknya hanyalah sebuah nisan di atas gundukan tanah berumput di pemakaman ini. Sebelum aku beranjak pulang, aku mengucapkan do’a semoga ia damai di alam sana dengan cahaya terang dan lapangnya tempat bersemayam jenasahnya.
Hari telah beranjak gelap.
Sebuah tangan dengan jemari mungil mendarat di pundak kiriku, kemudian suara perempuan terdengar,“ Kri, udah hampir jam setengah enam lho. Yuk kita pulang, yang lain udah nungguin tuh dari tadi.” Dewi menunjuk ke tempat dimana para sahabatku yang lain tengah menantiku dengan sabar sedari tadi. Para sahabat yang sangat kusayangi dan kubanggakan.
Sudah saatnya aku meninggalkan areal pemakaman ini. Namun, sebelum mengucapkan perpisahan untuk hari ini, aku meletakkan sepucuk puisi di atas gundukan makamnya.


Tak Akan Pernah Hilang
Jika suatu saat kita terpisahkan oleh waktu
Aku berharap kita dipertemukan kembali oleh waktu
Di sebuah tempat yang indah, dan dengan cara yang indah
Karena sebuah persahabatan adalah hal yang terindah
Meski kau tak bisa lagi kulihat sosokmu tersenyum
Aku masih mampu merasakan hadirnya dirimu di dekatku
Kau tak akan pernah hilang dari ingatan
Karena kau akan terus hidup sebagai sebuah kenangan
Yang terus mengiringi langkahku dalam perjalan hidupku
Kau takkan pernah tergantikan oleh siapapun, sahabat
Takkan pernah ada yang bisa menggantikan posisimu, kawan
Meski sampai waktu kelak mengambil hidupku dari kisahku
Akan selalu merindukan saat-saat indah bersamamu, sobat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar