Selasa, 18 Oktober 2011

Sebuah Nisan (Part 5)

Rencananya, acara akan diadakan mulai tanggal 23-26 April 2007 di Pulau Bali menggunakan bus pariwisata.

Pada hari Senin, kami diwajibkan untuk tiba di sekolah pukul 07.00 WIB, dikarenakan keberangkatan dijadwalkan pukul 07.30. Sepanjang jalan di sekitar sekolahku telah berjajar bus-bus sewaktu aku melalui ruas jalan tersebut. Aku yang diantarkan oleh kedua orangtuaku menggunakan mobil, tak sabar rasanya segera masuk ke dalam salah satu bus dan ingin secepatnya sampai di Pulau Bali. Di sepanjang jalan itu pula berdiri gerombolan pengantar rekan-rekan seangkatanku. Suasananya sangat mirip seperti saat keberangkatan jamaah haji tanah air.

Tepat pukul 07.30, satu per satu bus berangkat meninggalkan parkiran. Dari sekolahku, bus menuju kawasan Rungkut Industri melalui Pasar Rungkut. Setelah itu, aku tak memerhatikan jalan yang dilalui dikarenakan tengah asyik berbincang-bincang dengan teman-teman sebus. Yang hanya aku tahu pasti, kami melalui jalan tol Surabaya-Gempol, masuk dari pintu tol Waru.

Di sepanjang ruas jalan tol ini, kira-kira sejauh 5 km, kami benar-benar dibuat tercengang menyaksikan situasi ini. Di kanan jalan, tanggul tanah menjulang tinggi sekitar 10 meter. Di balik tanggul itulah lautan lumpur panas dibendung agar dampaknya tidak semakin menyengsarakan warga dan lingkungan sekitarnya. Di atas tanggul itu, banyak orang berkeliaran; baik para pekerja maupun warga yang hanya sekedar ingin menyaksikan, mulai dari berjalan kaki hingga naik motor. Berbagai peralatan berat juga nampak di sisi kanan jalan tol ini.

Sedangkan di sisi kiri jalan tol, banyak terdapat peralatan berat, pos-pos pekerja beserta perlengkapan pendukungnya, rambu-rambu non permanen seperti dilarang berhenti, batas kecepatan maksimal, dan lain-lain.

Selepas jalan tol kami menyusuri kota di sepanjang pantai utara pulau Jawa bagian paling timur, yaitu melalui daerah-daerah: Gempol, Bangil, Pasuruan, Probolinggo, Kraksaan, Paiton, dan Besuki.

Akhirnya kami tiba di Ketapang, lokasi dimana pelabuhan kapal feri yang akan menyeberangkan kami ke Bali berada. Ketapang letaknya sebelum memasuki kota Banyuwangi. Lokasi dermaga ada di sisi kiri jalan, kami langsung memasuki pelataran pelabuhan dan langsung disambut dengan loket pembelian tiket feri.

Antrian cukup panjang, didominasi oleh truk-truk besar dengan terpal menutupi muatannya. Setelah menunggu cukup lama, kami pun akhirnya mendapat giliran untuk masuk ke dalam kapal feri. Di saat bus yang aku tumpangi jalan melalui jembatan, dari jendela tempatku duduk, ku saksikan anak-anak kecil berebutan uang logam (bahkan ada juga uang kertas) yang dilemparkan oleh para penumpang kapal. Dengan cara menyelam, tanpa perlengkapan menyelam sekalipun, mereka terlihat antusias mengejar uang yang diceburkan ke laut sekitar mereka. Pemandangan yang mengesankan.

Di dalam kapal, aku dan yang lainnya berhamburan menuju bagian atas kapal. Sayangnya, tempat yang disediakan untuk menunggu telah penuh oleh orang. Ada sebuah pemandangan miris yang aku saksikan. Seorang ibu dengan kedua anaknya harus rela duduk di lantai di dekat pintu kamar kecil. Mereka dengan tenangnya, seperti telah terbiasa, menghirup oksigen yang bercampur dengan aroma yang keluar dari kamar kecil tersebut.

Setelah kurang-lebih 45 menit terombang-ambing di tengah lautan, kami pun akhirnya merapat di Gilimanuk. Untuk memercepat perjalanan, para siswa yang masih berada di kabin kapal, harus melalui jalur yang disediakan untuk orang-orang yang tak berkendaraan. Aku melewati jembatan penyeberangan yang cukup panjang sebelum pada akhirnya berhenti di tempat bus pariwisata kami parkir. Setelah dipastikan semua anggota telah lengkap, bus pun menuju hotel untuk kami bermalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar