Selasa, 18 Oktober 2011

Sebuah Nisan (Part 4)

Ia membawaku ke sebuah ruangan yang menjadi kamar tidurnya. Di bagian depan pintu, tertempel stiker rupa-rupa gambar dan warnanya. Mungkin itu ulah adiknya sewaktu SD.

“Kamu ganti baju aja di sini. Tapi jangan lupa, ditutup pintunya, ya.” Ia pun pergi ke luar meninggalkan ku sendiri di dalam kamarnya.

Seumur-umur baru pertama kali aku berada di kamar cewek. Suasananya berbeda dari punyaku di rumah. Semua serba tertata rapi. Dan kulihat sebuah boneka beruang duduk di sudut tempat tempat tidur.

Aku melepas pakaian yang kukenakan, dan segera menggantinya dengan baju yang dipinjamkan olehnya. Setelah aku beberkan pakaian yang sebelumnya terlipat itu, ternyata pakaian tersebut adalah sebuah baju berlengan panjang berwarna krem.

Aku keluar dari kamar dengan membawa kaos basahku. Tursi yang melihat aku mengenakan pakaiannya tertawa kecil.
“Kekecilan ya, Dik, pakaianku? Maaf ya, adanya cuma itu aja.”

“Enggak, kok. Gak apa-apa, yang penting badanku hangat lagi.” Tanganku sesekali menarik bagian bawah pakaian itu yang seringkali masih naik dengan sendirinya.

“Oh iya, ini kresek buat bajumu yang kena hujan.”

Ia menyodorkan sebuah kantong kresek belang ke hadapanku. Tanpa buang waktu, aku pun segera memasukkan kaos basahku ke dalamnya.

“Ya, udah. Kalau gitu, ke ruang tamu, yuk. Mamaku udah bikinin kita teh hangat.”

Kami pun bercengkrama cukup lama dengan ditemani secangkir teh hangat yang mampu melawan dinginnya malam ini.

Tak terasa jam telah menunjukkan pukul 9 tepat. Di luar sana, kulihat sudah tidak lagi turun hujan. Maka aku memutuskan untuk segera pulang ke rumah.

“Turs, aku pulang dulu. Udah gak hujan juga kan sekarang.” Aku memasukkan pakaian basahku ke dalam tas.

“Oh iya, Turs, tolong panggilin ibumu, aku mau pamit pulang.”
Tursi pun bergegas menuju ruang tengah dimana ibunya tengah melipat-lipat pakaian yang telah selesai disetrikanya.

“Oh, udah mau pulang, ya?” Tanya ibunya dengan hangat.

“Iya, tante, udah malam. Kayaknya gak sopan kalau bertamu lebih dari jam segini. Lagipula, kayaknya Tursi udah mengantuk. Makasih banyak, tante, buat teh hangatnya.”

“Iya, sama-sama. Makasih juga udah mau nganterin Tursi pulang, sampai hujan-hujanan segala lagi. Nduk, kamu anterin sahabatmu ini ke depan, ya.”

Tursi pun mengiringiku sampai depan rumahnya. Aku melipat jas hujanku, dan kumasukkan kembali ke bawah jok. Kupakai helmku, kemudian kunyalakan Vegaku.

“Aku pulang dulu, ya, Turs. Makasih banyak atas pinjaman bajunya dan teh hangatnya. Assalammu’alaikum.”
“Wa’alikumsalam.”

*******

Sinar mentari kembali menghangatkan hari. Hari yang dinanti-nanti pun akhirnya tiba. Hari dimana waktunya untuk membawakan drama dari masing-masing kelompok.

Semua terlihat sibuk memersiapkan kelompoknya masing-masing. Aku dan kelompokku berlatih sejenak untuk memantapkan kesiapan kami.

Satu per satu kelompok maju menampilkan pertunjukan drama mereka. Semua terlihat bagus dan sempurna di mataku. Sepertinya, kelompokku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang lain. Aku mulai sedikit merasa pesimis.

Tibalah waktunya untuk kelompokku, kelompok 4, tampil di hadapan teman-teman sekelasku. Rasa gugup tergambar dari muka-muka kami yang berdiri tegak sembari menanti suara backsound tanda dimulainya drama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar