Selasa, 18 Oktober 2011

Sebuah Nisan (Part 2)

Latihan untuk hari ini pun usai. Tak terasa dunia telah diselimuti gelapnya malam, bintang-bintang tak terlihat karena tertutup mega mendung. Kami semua segera minta izin pulang kepada Defi si pemilik rumah karena takut terjebak hujan di jalan.
“Makasih ya udah mau datang kemari.” Defi memberikan senyuman manisnya kepada kami. Ia mengantarkan kami semua sampai di halaman rumahnya.

Aku melihat Zulaikhah dan Tursi belum dijemput. Tak tega aku membiarkan kedua gadis itu lama menunggu. Aku menawarkan mereka tumpangan.

“Mau bareng gak? Aku anterin deh sampai rumah kalian?”

Pada awalnya Tursi sedikit ragu, mungkin karena takut bapaknya juga telah menuju kemari untuk menjemputnya. Tapi setelah mendapatkan SMS bahwa bapaknya tidak bisa menjemputnya dikarenakan ada tugas mendadak, ia pun bersedia menerima tawaranku.

“Wah, Dik. Kamu bisa goncengan bertiga?” Defi sempat heran melihat kami yang sudah berada di atas motor.

“Insya Allah bisa dan selamat sampai tujuan.”

“Ya udah, hati-hati aja di jalan. Awas loh ya, kamu bawa dua perawan orang. Jangan sampai kenapa-napa!” Ia mewanti-wantiku agar aku lebih hati-hati membawa Vegaku.

Vegaku pun telah menyala mesinnya. Kumasukkan gigi 1, dan siap untuk mulai berjalan.

“Kami duluan, Def. Assalammu’alaikum,” Zulaikhah mewakili kami bertiga untuk pamit pulang.

Vega pun keluar dari gang sempit rumah Defi menuju jalan raya. Sebetulnya, goncengan bertiga alias cenglu (gonceng telu) di sini sudah menjadi hal yang biasa. Cuma mungkin dikarenakan yang aku gonceng dua gadis yang menawan, banyak cowok-cowok yang melihat kami bersorak-sorai. Kami sempat tertawa melihat kekonyolan kami di mata mereka. Tapi kami tak memerdulikannya, jari tengah yang terlintas di benakku.

Secara tiba-tiba, hujan pun turun saat kami tengah berada di pertigaan tak jauh dari rumah Defi. Tak tanggung-tanggung turunnya, langsung deras menerpa tubuh kami. Awalnya kami ingin kembali ke rumah Defi, tapi merasa sudah kepalang basah tubuh ini oleh guyuran hujan. Kami pun nekat menerabas hujan deras tersebut.

Misi pertama, mengantarkan pulang Zulaikhah ke rumahnya di daerah Kendal Sari, berhasil. Zulaikhah pulang dengan keadaan selamat. Hanya saja, ia telah dalam kondisi basah kuyup.

Karena merasa tak enak hati, aku pun meminta maaf padanya,” Maaf ya, Zul. Gara-gara bareng aku, kamu jadi kehujanan. Gak punya jas hujan 3 sih. Maaf sekali lagi.”

“Gak apa-apa kok, Dik. Makasih banget dah jauh-jauh nganterin aku kemari.”

Ia mengusap sisa-sisa hujan yang membasahi mukanya. “Buruan, anterin Tursi. Entar hujannya keburu tambah deras lagi.”

“Oke. Kami duluan ya, Zul. Assalammu’alaikum.”

Misi selanjutnya, mengantarkan pulang Tursi ke rumahnya di daerah Wonorejo. Tapi, sesampainya di daerah Penjaringan Sari, hujan kian bertambah deras. Aku memutuskan berhenti sejenak untuk memakai jas hujan yang disimpan di bawah jok motor.

“Turs, mau pakai jas hujan gak? Aku ada satu nih,” tawarku.

“Enggak, kamu aja yang pakai, Dik. Entar kamu sakit, terus dimarahin mamamu.” Ia memberikan ku sebuah senyuman hangat.

“Tapi, kamu kan,” belum sempat aku melanjutkan kalimatku, ia telah memotong,” Dah, kamu kan rumahnya jauh, Dik. Kalau aku kan bentar lagi juga nyampai. Tapi, kalau boleh, aku titip naskah drama punyaku ke tasmu aja.”

Mendengar ucapannya yang seperti itu, aku tak bisa memaksanya lagi. “Ya udah, Turs. Sini, aku masukin naskahmu ke tasku biar gak basah.”

Naskah drama yang sedari tadi rupanya ia sembunyikan di balik sweaternya diberikan padaku. Tanpa buang waktu lagi, aku kenakan jas hujan berwarna biru tuaku. Perjalanan pun dilanjutkan.

Sesampainya di depan rumah Tursi...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar